ASPEK SOSIAL DALAM KESEHATAN
IBU DAN ANAK
OLEH
:
DINA
FEBRIYANTI
AGY
AVISHA ANGGA VITA
ALIMA
ADVENSIANI WAHYUMI
ANGGRAINI
PUTRI WULAN SARI
ARIKA
WAHYURISMAWATI
DEPI
KHORINISA
DESRIANA
HERMINA UERIA
ELISABETH
INTOVIANA
ELYSABETH
MITA DAMAYANTI
ENDI
NUR DIANTI
FILDA
FUADI
FILOMENA
NURNI
FRANSISKA
KABRINI MARYANTI
TULIP
A
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG
D
III KEBIDANAN
TA
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami
sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah
ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Aspek Sosial
Budaya dalam Kesehatan Ibu dan Anak”
Makalah ini berisikan mengenai
berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh ibu hamil dan juga kesehatan
anak yang berkaitan dengan sosial budaya. Kami berharap makalah ini bisa
menjadi prasana dalam mempermudah mata kuliah ISBD(Ilmu Sosial Budaya Dasar).
Kami menyadari bahwa Makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Amin.
Malang,
22 Oktober 2011
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ……………………………………………………………….….......... 1
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………….……..2
BAB
I PENDAHULUAN…………………………………………….…………….…….…….3
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….…….3
1.2 Tujuan…………………………………………...…………………………………4
1.3 Rumusan Masalah………………………………………………………………….4
BAB
II ISI……………………………………………………………………………………….5
2.1
Aspek Sosial Budaya dalam Kesehatan Ibu………………………………….…….5
2.2
Aspek Sosial Budaya dalam Kesehatan Anak……………………..…………….....9
2.3 Kebijakan Pembangunan
KIA………………………………………..……………..12
BAB III Penutup………………………………………………………………………………....14
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………………16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
SKRT 1994
menunjukkan hahwa angka kematian ibu (MMR) sebesar 400 – 450 per 100.000
persalinan. Selain angka kematian, masalah kesehatan ibu dan anak juga
menyangkut angka kesakitan atau morbiditas. Penyakit-penyakit tertentu seperti
ISPA, diare dan tetanus yang sering diderita oleh bayi dan anak acap kali
berakhir dengan kematian. Demikian pula dengan peryakit-penyakit yang diderita
oleh ibu hamil seperti anemia, hipertensi, hepatitis dan lain-lain dapat
membawa resiko kematian ketika akan, sedang atau setelah persalinan.
Program-program
pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan pada penanggulangan
masalah-masalah kesehatan ibu dan anak. Pada dasarnya program-program tersebut
lebih menitik beratkan pada upaya-upaya penurunan angka kematian bayi dan anak,
angka kelahiran kasar dan angka kematian ibu. Hal ini terbukti dari
hasil-hasil survei yang menunjukkan penurunan angka kematian bayi dan anak,
angka kelahiran kasar. Namun tidak demikian halnya dengan angka
kematian ibu (MMR) yang selama dua dekade ini tidak menunjukkan penurunan yang
berarti.
Baik masalah
kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari
faktor-faktor sosial budaya dan
lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak,
faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi
mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit,
kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun
negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan, misalnya, pacta dasarnya
adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini
terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan
ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan
anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.
Dengan
adanya faktor tersebut maka penulis ingin membahas aspek sosial budaya tentang
kesehatan ibu dan anak agar pembaca dapat mengetahui mengapa terjadi hal-hal
tersebut.
1.2
Tujuan
1.2.1
untuk mengetahui aspek-aspek sosial dalam kesehatan
ibu.
1.2.2
Untuk mengetahui aspek-aspek sosial dalam kesehatan
anak.
1.2.3
Untuk mengetahui mengapa dilakukannya program
pembangunan KIA.
1.3
Rumusan
masalah
1.3.1
apakah aspek sosial budaya dalam kesehatan ibu?
1.3.2
Apakah aspek sosial budaya dalam kesehatan anak?
1.3.3
Mengapa dilakukan program kebijakan pembangunan KIA?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aspek sosial budaya
dalam kesehatan ibu
Permasalahan utama yang
saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah
masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan.
Menghadapi masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe
Motherhood yang mempunyai prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita
terutama paada masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
a. Perawatan kehamilan
Perawatan kehamilan
merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya komplikasi dan kematian ketikapersalinan, disamping itu juga untuk
menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin.
b. Memahami perilaku
perawatan kehamilan (ante natal care)
Memahami perilaku
perawatan kehamilan adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan
si ibu sendiri. Paca berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak
ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati.
Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun
dokter.
Masih banyaknya ibu-ibu
yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan
kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang
sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Pada penelitian yang dilakukan yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, dan 132 ibu yang meninggal, 69 diantaranya tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru datang pertama kali pada kehamilan 7 -9 bulan (Wibowo, 1993).
kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang
sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Pada penelitian yang dilakukan yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, dan 132 ibu yang meninggal, 69 diantaranya tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru datang pertama kali pada kehamilan 7 -9 bulan (Wibowo, 1993).
c. Menikah usia muda
Selain dari kurangnya
pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada
kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang
masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya
preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan
istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang relatif
pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pacta saat melahirkan.
d.
Gizi wanita hamil dengan kbudayaan
Permasalahan lain yang
cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan
karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan terhadap
beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang
ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang
sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif
terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada
wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dari data SKRT 1986
terlihat bahwa prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia sebesar 73,7%,
dan angka menurun dengan adanya program-program perbaikan gizi menjadi 33% pada
tahun 1995. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari tingginya angka anemia
pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk
pembentukan darah.
Di Jawa Tengah, ada
kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit
persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang
dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan.
Di masyarakat Betawi
berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat
menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang
makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar
sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi,
berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat
mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk
memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita
hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat
di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).
e. Ibu hamil lebih
mempercayai dukun beranak
Memasuki masa
persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena
segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan
kematian. Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada
tidaknya faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan,
keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong
persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat.
Di daerah pedesaan,
kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan
yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992
rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat
praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu.
Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang
membawa resiko infeksi seperti “ngolesi”
(membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), “kodok”
(memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta)
atau “nyanda” (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki
diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan
pembengkakan).
Pemilihan dukun beranak
sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan
antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu
dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan
bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan
pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih,
namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara
kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat
menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis, .
penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan
eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani
secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses
persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan
yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan
keputusan dalam keluarga.
Umumnya, terutama di
daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus
dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan
suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi.
f. Jauhnya pelayanan
kesehatan
Kepanikan dan
ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat
tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula
nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan
yang diambil. Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis,
dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak
tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan
bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari
faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala
ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu
keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi
merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan.
g. Anjuran-anjuran
pasca melahirkan
Selain pada masa hamil,
pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca
persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses
pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya
dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang
dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional,
ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan
kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan
untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan ramuan-ramuan seperti
daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan
yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk
memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
2.2 Aspek Sosial Budaya
dalam Kesehatan Anak
a. Tradisi pemberian
makanan pada keluarga
Salah satu faktor yang
secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah makanan yang
diberikan. Dalam setiap masyarakat ada aturan-aturan yang menentukan kuantitas,
kualitas dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi
oleh anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis
kelamin dan situasi-situasi tertentu. Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak
diperbolehkan atau dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tertentu; ayah yang
bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih banyak
dan bagian yang lebih baik daripada anggota keluarga yang lain; atau anak
laki-laki diberi makan lebih dulu daripada anak perempuan. Walaupun pola makan
ini sudah menjadi tradisi ataupun kebiasaan,namun yang paling berperan mengatur
menu setiap hari dan mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah ibu;
dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate- keeper dari keluarga.
b. Masa pemberian ASI
Pada beberapa
masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang
terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang
berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI
menurut konsep kesehatan moderen ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun
dan pemberian makanan tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah
bayi berumur 4 tahun.
Namun, pada suku Sasak
di Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang
telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh
sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan
yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat,
pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan
lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yangsudah dilumatkan
ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum
ASI keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI yang pertama
kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, colostrum ini dianggap
sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya
yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap bahwa colostrum dapat
menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara, colostrum
sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi.
c. Pola pemberian ASI
Walaupun pada
masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang besar
karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang menjadi permasalahan
adalah pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga
menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping pola
pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya
pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun
sesudah melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang sedang
menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka.
Di beberapa daerah ada
yang memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur. Adanya pantangan
makanan ini merupakan gejala yang hampir universal berkaitan dengan konsepsi
“panas-dingin” yang dapat mempengaruhi keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh
manusia -tanah, udara, api dan air. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu
panas atau terlau dingin maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan
keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang harus mengkonsumsi makanan atau
menjalani pengobatan yang bersifat lebih “dingin” atau sebaliknya. Pada,
beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam
keadaan “dingin” sehingga ia harus memakan makanan yang “panas” dan menghindari
makanan yang “dingin”. Hal sebaliknya harus dilakukan oleh ibu yang sedang
hamil (Reddy, 1990).
d. Pengobatan dan
penyakit
Menurut Foster dan
Anderson (1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu
sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit. Sistemteori penyakit lebih
menekankan pada penyebab sakit, teknik-teknik pengobatan pengobatan penyakit.
Sementara, sistem perawatan penyakit merupakan suatu institusi sosial yang
melibatkan interaksi beberapa orang, paling tidak interaksi antar pasien dengan
si penyembuh, apakah itu dokter atau dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit
akan menentukan cara pengobatannya. Penyebab penyakit dapat dikategorikan ke
dalam dua golongan yaitu personalistik dan naturalistik. Penyakit-penyakit yang
dianggap timbul karena adanya intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan
orang, hantu, mahluk halus dan lain-lain termasuk dalam golongan personalistik.
Sementara yang termasuk dalam golongan naturalistik adalah penyakit- penyakit
yang disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca, makanan, debu dan lain-lain.
Dari sudut pandang
sistem medis moderen adanya persepsi masyarakat yang berbeda terhadap penyakit
seringkali menimbulkan permasalahan. Sebagai contoh ada masyarakat pada
beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang- kejang disebabkan
karena kemasukan roh halus, dan hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. Padahal
kejang-kejang tadi mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau adanya
radang otak yang bila tidak disembuhkan dengan cara yang tepat dapat
menimbulkan kematian.
Kepercayaan-kepercayaan
lain terhadap demam dan diare pada bayi adalah karena bayi tersebut bertambah
kepandaiannya seperti sudah mau jalan. Ada pula yang menganggap bahwa diare
yang sering diderita oleh bayi dan anak-anak disebabkan karena pengaruh udara,
yang sering dikenal dengan istilah “masuk angin”. Karena persepsi terhadap
penyebab penyakit berbeda-beda, maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya,
di suatu daerah dianggap bahwa diare ini disebabkan karena “masuk angin” yang
dipersepsikan sebagai “mendinginnya” badan anak maka perlu diobati dengan
bawang merah karena dapat memanaskan badan si anak.
Sesungguhnya pola
pemberian makanan pada anak, etiologi penyakit dan tindakan kuratif penyakit
merupakan bagian dari sistem perawaatan kesehatanumum dalam masyarakat
(Klienman, 1980). Dikatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan ini terdapat
unsur-unsur pengetahuan dari sistem medis tradisional dan moderen. Hal ini
terlihat bila ada anak yang menderita sakit, maka si ibu atau anggota keluarga
lain akan melakukan pengobatan sendiri (self treatment) terlebih dahulu, apakah
itu dengan menggunakan obat tradisional ataupun obat moderen. Tindakan
pemberian obat ini merupakan tindakan pertama yang paling sering dilakukan
dalam upaya mengobati penykit dan merupakan satu tahap dari perilaku mencari
penyembuhan atau kesehatan yang dikenal sebagai “health seeking behavior”. Jika
upaya ini tidak berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa ke petugas
kesehatan seperti dokter, mantri dan lain-lain.
2.3 Kebijakan pembangunan KIA
Uraian sebelumnya telah
memperlihatkan bahwa dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak
melalui program-program pembangunan kesehatan perlu memperhatikan aspek-aspek
sosial-budaya masyarakat. Menempatkan petugas kesehatan dan membangun fasilitas
kesehatan semata tidaklah cukup untuk mengatasi masalah-masalah KIA di suatu
daerah. Seperti diketahui ternyata perilaku-perilaku kesehatan di masyarakat baik
yang menguntungkan atau merugikan kesehatan banyak sekali dipengaruhi oleh
faktor sosial budaya.
Pada dasarnya, peran
kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk, mengatur dan mempengaruhi
tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial untuk memenuhi
berbagai kebutuhan kesehatan. Memang tidak semua praktek/perilaku masyaiakat
yang pada awalnya bertujuan untuk menjaga kesehatan dirinya adalah merupakan
praktek yang sesuai dengan ketentuan medis/kesehatan. Apalagi kalau persepsi
tentang kesehatan ataupun penyebab sakit sudah berbeda sekali dengan konsep
medis, tentunya upaya mengatasinya juga berbeda disesuaikan dengan keyakinan
ataupun kepercayaan-kepercayaan yang sudah dianut secara turun-temurun sehingga
lebih banyak menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi kesehatan. Dan untuk
merubah perilaku ini sangat membutuhkan waktu dan cara yang strategis. Dengan
alasan ini pula dalam hal penempatan petugas kesehatan dimana selain memberi
pelayanan kesehatan pada masyarakat juga berfungsi sebagai agen perubah (change
agent) maka pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi dari petugas kesehatan
sangat diperlukan disamping kemampuan dan ketrampilan memberi pelayanan kesehatan.
Mengingat bahwa dari
indikator-indikator yang ada menunjukkan derajat kesehatan ibu dan anak masih
perlu diingkatkan, maka dalam upaya perbaikannya perlu pendekatan-pendekatan
yang dilakukan secara holistik dan integratif yang tidak hanya terbatas pada
bidang kesehatan secara medis saja tetapi juga ekonomi, pendidikan, sosial dan
budaya. Dalam hal melakukan upaya-upaya perbaikan perlu disadari bahwa hubungan
ibu dan anak sangat erat dimana kondisi kesehatan ibu akan dapat secara
langsung mempengaruhi kondisi kesehatan anaknya, baik mulai dari kandungan
maupun setelah persalinan. Oleh karena itu, penting sekali menempatkan konteks
reproduksi dalam program KIA sehingga diharapkan kondisi kesehatan seseorang
benar-benar dapat terpelihara sesuai dengan konsep medis yang tepat sejak ia
berada dalam kandungan, masa kanak-kanak, masa remaja hingga dewasa.
BAB III
PENUTUP
v Aspek-aspek yang
mempengaruhi kesehatan ibu yaitu:
a. Perawatan kehamilan
b. Memahami perilaku
perawatan kehamilan (ante natal care)
c. Menikah usia muda
d. Gizi wanita hamil
dengan kbudayaan
e. Ibu hamil lebih
mempercayai dukun beranak
f. Jauhnya pelayanan
kesehatan
g. Anjuran-anjuran
pasca melahirkan
v Aspek-aspek yang
mempengaruhi kesehatan bayi yaitu:
a. Tradisi pemberian
makanan pada keluarga
b. Masa pemberian ASI
c. Pola pemberian ASI
d. Pengobatan dan
penyakit Ibu dan Bayi
v Kebijakan Pembangunan
KIA
a.
Dalam melakukan pembangunan KIA perlu
memperhatikan aspek sos-bud.
b.
peran kebudayaan terhadap kesehatan
masyarakat adalah dalam membentuk, mengatur dan mempengaruhi tindakan atau
kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial untuk memenuhi berbagai
kebutuhan kesehatan
c.
konteks reproduksi dalam program KIA sehingga diharapkan kondisi kesehatan
seseorang benar-benar dapat terpelihara sesuai dengan konsep medis yang tepat
sejak ia berada dalam kandungan, masa kanak-kanak, masa remaja hingga dewasa.
DAFTAR PUSTAKA